Empat orang ibu ini dinilai ikut andil dalam mengangkat pariwisata Bali lewat masakan. Disamping itu, keempatnya juga telah berhasil membuka lapangan pekerjaan bagi banyak pegawai di pulau Bali.
Karena jasanya itulah keempat ibu ini disebut sebagai “empat srikandi kuliner Bali” dalam seminar “Program Doktor Kajian Pariwisata Universitas Udayana” di Denpasar, pada Kamis (2/5/2013).
Sebagai pemakalah dalam seminar itu, tampil Akademisi dari Universitas Udayana Prof I Nyoman Darma Putra, yang mengungkapkan:
“Secara khusus, saya mengangkat kisah empat srikandi kuliner Bali yang perannya dalam kepariwisataan di daerah kita tidak bisa dikesampingkan.”
Dalam makalah berjudul “Peran Perempuan dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan: Kisah Empat Pahlawan Kuliner Bali”, Darma Putra membahas peran empat orang ibu yang berjasa mengembangkan kuliner Bali.
Adapun keempat ibu yang dimaksudkan, yaitu:
“Usaha srikandi-srikandi kuliner Bali ini berhasil memanfaatkan kemajuan pariwisata untuk mengangkat citra dan eksistensi kuliner Bali, atau mendukung pembangunan pariwisata di daerah kita lewat pengenalan kuliner Bali kepada wisatawan.”
Meskipun masih dalam sekala kecil-menengah, jelas Prof Darma Putra, usaha kuliner empat ibu yang ia sebut “sri kandi kuliner” tersebut telah ‘go national’ dan ‘go international’, yang selanjutnya mampu membuka banyak lapangan pekerjaan dan peluang usaha baru bagi para pemasok bahan baku. Ia menambahkan:
“Keberhasilan perempuan Bali mengembangkan kuliner daerahnya tidak saja mesti dihargai dalam penyiapan lapangan kerja tetapi yang tak kalah pentingnya adalah pada prestasi mereka untuk membuat kuliner Bali go-nasional dan go-global.”
Disamping itu, keberhasilan keempatnya juga dinilai membantu menghapus ketakutan akan homogenisasi kuliner global yang dibawa masuk oleh kapitalisme dan industri pariwisata.
Prof Putra mencontohkan usaha Men Tempeh mengangkat menu ayam betutu di daerah Gilimanuk (Jembrana) dalam waktu 35 tahun terakhir, sampai-sampai ayam betutu yang semula merupakan menu “kampung”, pelan-pelan menjadi menu restoran dan merek dagang rumah makan yang beroperasi di Bandara Ngurah Rai, di Denpasar, Jakarta, dan Yogyakarta.
Ia menambahkan:
“Demikian pula popularitas kuliner babi guling, tak hanya memikat wisatawan lokal dan domestik tetapi juga wisatawan mancanegara.”
Terangkatnya sejumlah kekayaan kuliner Bali dalam konteks perkembangan pariwisata, menurut Darma Putra, bisa dijadikan argumentasi untuk mengatakan bahwa pemanfaatan kekayaan budaya untuk pengembangan kepariwisataan tidaklah melindas kebudayaan itu sendiri tetapi justru ikut melestarikannya. (Via: Antara)
Sumber : http://popbali.com
Karena jasanya itulah keempat ibu ini disebut sebagai “empat srikandi kuliner Bali” dalam seminar “Program Doktor Kajian Pariwisata Universitas Udayana” di Denpasar, pada Kamis (2/5/2013).
Sebagai pemakalah dalam seminar itu, tampil Akademisi dari Universitas Udayana Prof I Nyoman Darma Putra, yang mengungkapkan:
“Secara khusus, saya mengangkat kisah empat srikandi kuliner Bali yang perannya dalam kepariwisataan di daerah kita tidak bisa dikesampingkan.”
Dalam makalah berjudul “Peran Perempuan dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan: Kisah Empat Pahlawan Kuliner Bali”, Darma Putra membahas peran empat orang ibu yang berjasa mengembangkan kuliner Bali.
Adapun keempat ibu yang dimaksudkan, yaitu:
- Ibu Made Mash, yang mengembangkan Made’s Warung atau Warung Made di Kuta
- Ibu Agung Oka, yang mengembangkan Warung Babi Guling Bu Oka di Ubud
- Ibu Warti, yang mengembangkan jasa boga atau catering Nyonya Warti Buleleng; dan
- Men Tempeh, perintis sekaligus pengembang Ayam Betutu Gilimanuk
“Usaha srikandi-srikandi kuliner Bali ini berhasil memanfaatkan kemajuan pariwisata untuk mengangkat citra dan eksistensi kuliner Bali, atau mendukung pembangunan pariwisata di daerah kita lewat pengenalan kuliner Bali kepada wisatawan.”
Meskipun masih dalam sekala kecil-menengah, jelas Prof Darma Putra, usaha kuliner empat ibu yang ia sebut “sri kandi kuliner” tersebut telah ‘go national’ dan ‘go international’, yang selanjutnya mampu membuka banyak lapangan pekerjaan dan peluang usaha baru bagi para pemasok bahan baku. Ia menambahkan:
“Keberhasilan perempuan Bali mengembangkan kuliner daerahnya tidak saja mesti dihargai dalam penyiapan lapangan kerja tetapi yang tak kalah pentingnya adalah pada prestasi mereka untuk membuat kuliner Bali go-nasional dan go-global.”
Disamping itu, keberhasilan keempatnya juga dinilai membantu menghapus ketakutan akan homogenisasi kuliner global yang dibawa masuk oleh kapitalisme dan industri pariwisata.
Prof Putra mencontohkan usaha Men Tempeh mengangkat menu ayam betutu di daerah Gilimanuk (Jembrana) dalam waktu 35 tahun terakhir, sampai-sampai ayam betutu yang semula merupakan menu “kampung”, pelan-pelan menjadi menu restoran dan merek dagang rumah makan yang beroperasi di Bandara Ngurah Rai, di Denpasar, Jakarta, dan Yogyakarta.
Ia menambahkan:
“Demikian pula popularitas kuliner babi guling, tak hanya memikat wisatawan lokal dan domestik tetapi juga wisatawan mancanegara.”
Terangkatnya sejumlah kekayaan kuliner Bali dalam konteks perkembangan pariwisata, menurut Darma Putra, bisa dijadikan argumentasi untuk mengatakan bahwa pemanfaatan kekayaan budaya untuk pengembangan kepariwisataan tidaklah melindas kebudayaan itu sendiri tetapi justru ikut melestarikannya. (Via: Antara)
Sumber : http://popbali.com