Wisata Kuliner di Bali Bareng Pak De Manbull

Info Wisata Kuliner, Tempat Belanja, Tips-Tips Menarik di Pulau Dewata Bali, rekomendasi bagi wisatawan domestik.

Maaak Nyeeessss

Info Wisata Kuliner, Tempat Belanja, Tips-Tips Menarik di Pulau Dewata Bali, rekomendasi bagi wisatawan domestik.

Jelajahi Masakan Bali Tempo Dulu...

Jelajahi aneka masakan tradisonal tempo dulu, yang kini sudah mulai jarang dijual di warung makan di Bali.

Liburan di Bali sambil berwisata kuliner

Menikmati alam dan budaya Bali sambil menikmati wisata kuliner

Dapatkan Tips menarik disini...

Tips dan artikel menarik yang selalu update...

Rabu, 07 Agustus 2013

Go Gonk Kuliner Adventure - Nasi Sela Taluh Kana Men Unyil

Beritabali.com, Badung. Anda pecinta kuliner yang rada-rada ekstrim ?  Jika Anda sedang lewat wilayah Mengwi, Kabupaten Badung, tak ada salahnya mencoba  menu Nasi Sela Taluh Kana ala Men Unyil. Makanan apa pula itu ya?

Warung sederhana Men Unyil ini ada di area pasar Mengwi. Warung ini buka mulai pukul 4 sore sampai 10 malam.

Menu khas di warung ini adalah nasi campur taluh kana.  Harganya pun cukup murah, yakni hanya Rp 8 ribu se porsinya.

Dalam satu porsi nasi campur ini terdapat nasi sela (ketela), jukut (sayur) bejek,  ada grago (udang kecil kecil), kacang tanah, jukut atau sayur bejek bumbu kalas (santan, daging, base gede) sambal bongkot, dan ayam betutu yang disuwir.

Menu ini menjadi spesial karena ada taluh kana, be (daging)  meri (anak bebek) di dalamnya.

"Taluh kana ini khasnya, hanya ada di Desa Mengwi. Telur ini didapatkan dari tempat penetasan itik (bebek), jadi telur  yang tidak berhasil menetas kita olah lagi menjadi makanan,"jelas Men Unyil.

Selain ada telur kana goreng, menu ini juga berisi meri atau anak bebek yang mati saat menetas. Meri ini disajikan dengan cara digoreng kering.

Meski menawarkan menu yang tergolong ekstrim, dimana 'limbah' tempat penetasan itik diolah menjadi makanan lezat, warung sederhana ini selalu ramai pengunjung.

" Selalu habis,  sekitar porsi 200 porsi per hari, pembeli dari Mengwi dan sekitarnya,"jelasnya

Nasi campur taluh kana ini mempunyai cita rasa khas bali. Kebersihan makanannya layak,  pelayanan ramah terhadap pengunjung .Walaupun hanya melayani pembeli seorang diri, semua pelanggan mendapat layanan sesuai giliran.

Gogonk Kuliner Adventure merekomendasikan : warung ini layak dikunjungi sebagai varian menu unik di Bali. (gogonk)

Sumber : http://www.beritabali.com/index.php/page/berita/bdg/detail/2013/07/26/Nasi-Sela-Taluh-Kana-Men-Unyil/201307260001

Bebek Bengil Kini Hadir di Dekat Area GWK

Beritabali.com, Badung. Kamis malam (11/7/2013), salah satu restoran asli Bali yaitu Bebek Bengil telah membuka cabang terbaru di suatu lokasi yang strategis yaitu Plaza Amata. Lokasi yang berdekatan dengan wisata Garuda Wisnu Kencana (GWK) Ungasan ini membuat Bebek Bengil semakin mudah dijangkau oleh wisatawan yang berkunjung ke GWK atau menuju Uluwatu.

Sejak didirikan pada tahun 1990 oleh Anak Agung Raka Sueni, saat ini Bebek Bengil telah mempunyai 4 cabang mulai dari Ubud, Jakarta, Nusa Dua dan terakhir di Plaza Amata. Kedepannya, Bebek Bengil akan membuka cabang lainnya diseluruh Indonesia.

Nama Bebek Bengil itu didapatkan oleh Agung Raka Sueni pada saat menjaga warungnya pada sore hari. Ia melihat serombongan bebek dengan kaki yang kotor penuh lumpur melintasi warungnya (orang Bali biasa menyebutnya dengan bebek bengil atau kotor). Hal itu memberikan inspirasi dengan menggunakan nama Bebek Bengil utnuk warungnya. Saat itu Agung Raka hanya mempunyai warung tanpa nama dan belum menjadi Restorant Bebek Bengil.

Pada  acara peresmian cabang ke 4 di Plaza Amata yang dihadiri oleh ratusan udangan. Terlihat dan nampak hadir Ketua PHRI Cokorda Oka Arta Asrdana Sukawati (Cok Ace), perwakilan  Polda Bali yang diwakili oleh Kapolsek Kuta Selatan, Kepala Dinas Pariwisata  Gianyar, serta beberapa pejabat Bank BNI.

Pada saat memberikan sambutannya, Anak Agung Raka Sueni menjelaskan bahwa Restorant Bebek Bengil ini mempunyai konsep Tradisonal tetapi mempunyai wawasan internasional.

"Walaupun bahan utama menggunakan bebek, Bebek Bengil terus berusaha menciptakan menu menu baru dengan menggunakan bahan bebek,"ujarnya.

Pada kesempatan meresmikan pembukaan Bebek Bengil semalam, Ketua HPRI, Cok Ace, menyatakan kekaguman dan kebanggannya kepada pemilik Bebek Bengil, Agung Raka, sebagai pebisnis perempuan yang sukses.

“Jika semua perempuan Bali tangguh dan penuh inovasi seperti ini, Bali akan jauh lebih maju. Saat ini Bali membutuhkan terobosan terobosan baru untuk meningkatkan Pariwisata Bali “ ujar Cok Ace. 

Dalam acara pembukaan restoran bebek bengil ini, para undangan dijamu dengan berbagai macam menu khas Bebek Bengil. Setelah itu pada undangan dipersilahkan untuk menuju pusat oleh oleh Agung Raka yang letaknya masih di dalam area Plaza Amata.

Berbagai macam jenis kerajinan dan oleh oleh dapat diperoleh dengan harga yang cukup terjangkau di sana. (dev)

Sumber : http://www.beritabali.com/index.php/page/berita/bdg/detail/2013/07/12/Bebek-Bengil-Kini-Hadir-di-Dekat-Area-GWK/201107023044

Jumat, 07 Juni 2013

Empat Ibu Ini Ikut Mengangkat Pariwisata Bali Lewat Masakan

Empat orang ibu ini dinilai ikut andil dalam mengangkat pariwisata Bali lewat masakan. Disamping itu, keempatnya juga telah berhasil membuka lapangan pekerjaan bagi banyak pegawai di pulau Bali.

Karena jasanya itulah keempat ibu ini disebut sebagai “empat srikandi kuliner Bali” dalam seminar “Program Doktor Kajian Pariwisata Universitas Udayana” di Denpasar, pada Kamis (2/5/2013).

Sebagai pemakalah dalam seminar itu, tampil Akademisi dari Universitas Udayana Prof I Nyoman Darma Putra, yang mengungkapkan:

    “Secara khusus, saya mengangkat kisah empat srikandi kuliner Bali yang perannya dalam kepariwisataan di daerah kita tidak bisa dikesampingkan.”

Dalam makalah berjudul “Peran Perempuan dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan: Kisah Empat Pahlawan Kuliner Bali”, Darma Putra membahas peran empat orang ibu yang berjasa mengembangkan kuliner Bali.

Adapun keempat ibu yang dimaksudkan, yaitu:
  1. Ibu Made Mash, yang mengembangkan Made’s Warung atau Warung Made di Kuta
  2. Ibu Agung Oka, yang mengembangkan Warung Babi Guling Bu Oka di Ubud
  3. Ibu Warti, yang mengembangkan jasa boga atau catering Nyonya Warti Buleleng; dan
  4. Men Tempeh, perintis sekaligus pengembang Ayam Betutu Gilimanuk
Menurut Prof Darma Putra:

    “Usaha srikandi-srikandi kuliner Bali ini berhasil memanfaatkan kemajuan pariwisata untuk mengangkat citra dan eksistensi kuliner Bali, atau mendukung pembangunan pariwisata di daerah kita lewat pengenalan kuliner Bali kepada wisatawan.”

Meskipun masih dalam sekala kecil-menengah, jelas Prof Darma Putra, usaha kuliner empat ibu yang ia sebut “sri kandi kuliner” tersebut telah ‘go national’ dan ‘go international’, yang selanjutnya mampu membuka banyak lapangan pekerjaan dan peluang usaha baru bagi para pemasok bahan baku. Ia menambahkan:

    “Keberhasilan perempuan Bali mengembangkan kuliner daerahnya tidak saja mesti dihargai dalam penyiapan lapangan kerja tetapi yang tak kalah pentingnya adalah pada prestasi mereka untuk membuat kuliner Bali go-nasional dan go-global.”

Disamping itu, keberhasilan keempatnya juga dinilai membantu menghapus ketakutan akan homogenisasi kuliner global yang dibawa masuk oleh kapitalisme dan industri pariwisata.

Prof Putra mencontohkan usaha Men Tempeh mengangkat menu ayam betutu di daerah Gilimanuk (Jembrana) dalam waktu 35 tahun terakhir, sampai-sampai ayam betutu yang semula merupakan menu “kampung”, pelan-pelan menjadi menu restoran dan merek dagang rumah makan yang beroperasi di Bandara Ngurah Rai, di Denpasar, Jakarta, dan Yogyakarta.

Ia menambahkan:

    “Demikian pula popularitas kuliner babi guling, tak hanya memikat wisatawan lokal dan domestik tetapi juga wisatawan mancanegara.”

Terangkatnya sejumlah kekayaan kuliner Bali dalam konteks perkembangan pariwisata, menurut Darma Putra, bisa dijadikan argumentasi untuk mengatakan bahwa pemanfaatan kekayaan budaya untuk pengembangan kepariwisataan tidaklah melindas kebudayaan itu sendiri tetapi justru ikut melestarikannya. (Via: Antara)

Sumber : http://popbali.com

Kamis, 06 Juni 2013

Mencicipi Sup Gurame Sambas di Renon

Beritabali.com, Denpasar. Daerah Sambas di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) memiliki kuliner khas yakni sup ikan gurame dan kue bingke. Untuk mencicipinya Anda tidak perlu ke Sambas Kalimantan, karena menu ini kini tersedia di kawasan Renon, Denpasar.

Bagi Anda pecinta kuliner Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) yang berdomisili di Pulau Bali, kini tak perlu risau dengan menu makanan khas Kalbar. Di Pulau Dewata Anda bisa menikmati menu makanan Kalbar. Adalah Restoran The Sambas yang siap memanjakan lidah kuliner Anda. Ya, restoran yang terletak di Jalan Tukad Unda, Renon, Denpasar itu menyajikan menu masakan khas Bumi Katulistiwa.

Sup ikan gurame khas Sambas, adalah menu khas di restoran ini. Rasa kuat dari sup gurame ini adalah rasa asam yang nyangkut sampai di ujung lidah.

"Resepnya adalah menggunakan buah belimbing langsung yang didatangkan dari Sambas," kata Manajer Restoran The Sambas, Yuda Kelana, Kamis (7/3/2013).

Untuk menu sup gurame ini diperlukan satu ekor ikan gurame. Selanjutnya bumbu seperti kunyit, jahe, lengkuas, sereh, bawang putih, bawang merah dihaluskan. Bumbu yang sudah halus itu lalu ditumis sampai harum tercium.

"Sementara ikan gurame direbus sendiri terpisah sekitar 3 menit. Baru guramenya dimasukkan ke bumbu tumis, ditambahkan air," imbuhnya.

Untuk satu porsi sup gurame, Anda hanya perlu mengeluarkan kocek Rp 14 ribu. Cukup murah bukan?

Menu andalan lainnya yang bisa dinikmati di sini adalah kue Bingke. Jajanan khas masyarakat Kalimantan Barat di restoran ini disulap menjadi menu makanan penutup.

"Kue bingke Sambas disajikan setelah makan. Dia menjadi menu penutup," kata  Yuda Kelana.

Tak hanya sekedar kue, bingke Restoran The Sambas juga terdiri dari beberapa variasi. Ada bingke labu, bingke kentang dan bingke pisang.

"Di Kalbar, bingke tak ada rasanya. Tapi di sini kami modifikasi. Di atasnya kami berikan es krim dan gula," beber Yuda.

Yuda menjelaskan, makanan khas Kalbar ini menjadi menu andalan karena sang pemilik restoran, Darwin Iskandar yang asli orang Sambas, Kalimantan Barat. Yuda menjelaskan, kue bingke dibuat dari bahan dasar tepung beras, susu dan telur yang diaduk menjadi satu. Usai itu dimasukkan ke dalam loyang lalu dibakar. Di Kalbar, kue bingke disajikan di saat hari raya bersama kue lapis.

"Seluruh proses memakan waktu sekitar 30 menit," ujarnya.

Sebelum disajikan, kue bingke itu terlebih dahulu dilumuri es krim dan gula sebagai penguat rasa.

"Rasanya khas. Ini resep langsung dari owner. Chief koki hanya mengembangkan saja. Bedanya dengan bingke Papua dan daerah lainnya adalah bingke Kalbar lebih padat," ucap Yuda.

Setengah porsi kue Bingke dibanderol Rp 8 ribu. Sementara satu porsinya Rp 14 ribu," tutur Yuda.

Tak hanya kue Bingke, The Sambas juga memiliki menu khas lainnya yakni Soda Sambas. Minuman ini dicampur dengan sirup dan lemon. Menurut Yuda, soda Sambas juga minuman khas daerah Borneo.

Sambil mencicipi aneka kuliner khas Sambas, pengunjung juga bisa menikmati fasilitas WiFi gratis. Selain itu, di restoran yang berdiri 7 Agustus 2012 itu, Anda juga bisa menikmati fasilitas spa, bodi scrub, bodi mask dan treatment. Harga paling murah, Anda hanya perlu mengeluarkan dana sebesar Rp 30 ribu dan paling mahal Rp230 ribu.

"Kami padukan konsep spa dan restoran karena biasanya seusai spa, pasti lapar. Bagi yang spa, kami berikan kue bingke gratis," demikian Yuda. (bbn/dev)

Sumber : http://www.beritabali.com

Sendawa Tak Kunjung Berhenti? Jahe Hangat Bantu Mengatasinya!

Perut kembung tentu rasanya tak nyaman. Efeknya jadi sering sendawa ataupun buang angin. Perut juga jadi terasa penuh dan tampak lebih tampak buncit. Untuk meredakannya, minum saja jahe hangat ataupun teh mint!

Minuman hangat berbahan rempah memang berkhasiat tinggi, salah satunya untuk atasi sendawa dan buang angin karena efek dari perut kembung. Ini dia beberapa jenis minuman dan tambahan rempah yang bisa bantu mengatasinya.

Sumber : http://food.detik.com

Kamis, 23 Juni 2011

Menelusuri Kebiasaan Makan Daging Babi di Kalangan Masyarakat Bali

Berawal dari pandangan umum bahwa makanan di setiap wilayah tidak dapat dilepaskan dari tiga faktor penting, yaitu iklim, sumber daya alam, dan kebiasaan masyarakat. Di Indonesia, peta kuliner sangat beragam dan menarik. Selain tiga faktor di atas, saya yakin ada hal yang melatarbelakangi perkembangan budaya makan yang terkait dengan aspek-aspek historis, di samping kultur masyarakat. Selalu muncul pertanyaan yang menggelitik, mengapa suatu jenis makanan atau suatu raw material begitu identik dengan suatu kawasan tertentu.

Bali menjadi salah satu dari sekian kasus kuliner yang saya pandang unik dan menarik, karena –mungkin— selain dilandasi nilai-nilai sejarah dan budaya, khasanah kuliner Bali juga mengandung nilai religius. Sebagian besar orang luar Bali yang beragama Islam, selalu takut untuk mencoba mencicipi masakan Bali yang identik dengan babi. Masakan seperti lawar yang mengkombinasikan gudeg-urap khas Bali yang diberi darah babi mungkin tampaknya telah memberikan prediksi yang kuat pada masyarakat luar Bali yang ingin berkunjung ke tempat wisata ini untuk tidak mencicipi hidangan pulau dewata ini. Memang, saya memandang, untuk konsumsi orang Bali, daging babi masih digunakan. Terlebih lagi bagi umat Hindu, sapi (putih) termasuk hewan suci yang masih sakral dan tidak boleh disembelih. Hal inilah yang tampaknya membuat babi sebagai konsumsi daging utama (chiefly food) bagi sebagian besar masyarakat Bali.

Orang Bali
Awal sejarah Bali tidak dapat dilepaskan dari asal-usul dan evolusi masyarakatnya. Orang Bali diduga memiliki darah campuran Mongoloid yang bergerak ke pulau utama menuju kawasan Asia Tenggara, jauh sebelum masa sejarah. Pengaruh asing terbesar bagi orang Bali awalnya dibawa oleh orang-orang India (pedagang dan pelancong) yang membawa serta pengaruh ajaran Hindu. Bali kemudian berbagi sangat banyak dalam gelombang Indianisasi yang menyebar di hampir banyak kawasan Asia Tenggara di paruh akhir milenium pertama.

Hinduisasi di Bali merupakan sebuah proses yang berlangsung berabad-abad. Pengaruh yang paling meresap ternyata bukan dari India saja, namun ternyata lebih dekat ke Jawa, yang sebenarnya lebih dahulu terkena proses Indianisasi dibandingkan Bali. Pada tahun 1001 (atau mungkin 991), Bali telah sepenuhnya terkena proses Hinduisasi. Pada masa kekuasaan Airlangga, Singasari amat memengaruhi Bali, baik secara politik maupun budaya. Namun hubungan itu bukan tanpa konflik. Orang-orang Bali beberapa kali menuntut otonomi mereka dari kerajaan Singasari. Bahkan, ketika kekuasaan beralih ke tangan Majapahit, tuntutan itu masih terjadi. Akhirnya, tuntutan itu terwujud ketika kekuasaan Majapahit berakhir pada tahun 1515. Bali kemudian memiliki otonomi untuk mengatur urusan dalam negerinya.

Pada periode Majapahit, sejarah Bali mulai jelas memuat dan memiliki pola, meski banyak menyisakan legenda-legenda. Jatuhnya Majapahit menandai bangkitnya Mataram yang merupakan kerajaan bercorak Islam. Banyak dari ribuan pendeta, bangsawan, tentara, seniman, pengukir, yang berpindah dari Jawa ke Bali untuk menghindarkan diri mereka dari para penakluk muslim. Di Bali, mereka memberikan impuls yang kuat bagi pertumbuhan tradisi Hindu Jawa yang terdesak oleh kekuatan Islam. Fenomena migrasi ini kemudian menghasilkan terjadinya transfusi budaya yang besar di wilayah Bali. Selama kurang lebih 400 tahun, tanpa diganggu mereka hidup menetap di Bali dan memiliki keturunan.

Lantas, apa hubungan masa Hindu Jawa yang diwakili oleh kekuasaan Majapahit tersebut bagi budaya orang Bali, terutama berkaitan dengan kebiasaan makan mereka yang menjadikan babi sebagai konsumsi daging utama. Di sini saya tidak begitu sepakat dengan daging pilihan (meat of choice), karena saya lebih memandang daging babi lebih dari sekedar pilihan, namun menjadi suatu yang utama di kalangan masyarakat Bali.

Asal-Usul
Dalam kitab Nagarakrtagama (1365), babi disinggung sebagai salah satu jenis daging yang dihidangkan di Istana Majapahit, selain daging domba, kerbau, ayam, lebah, ikan, dan bebek. Selain itu, juga ada beberapa jenis daging lagi yang tidak dihidangkan kepada orang yang taat karena pantangan Hindu, meskipun banyak digemari oleh rakyat biasa, seperti kodok, cacing, penyu, tikus, anjing. Banyak sekali pada masa itu orang-orang yang menggemari daging-daging ini. Agama Hindu tampaknya nyaris tidak berperan dalam mengekang sumber-sumber protein. Seorang Cina Muslim, Ma Huan, tercengang ketika melihat makanan orang Jawa bukan Islam yang dikatakannya sangat kotor dan buruk. Binatang-binatang seperti ular, semut, dan semua jenis serangga serta cacing menjadi bahan-bahan konsumsi. Selain Madura, Bali adalah wilayah pengekspor ternak ke Jawa pada abad ke-14 sebagaimana juga masih bertahan selama berabad-abad. Ternak-ternak seperti domba, biri-biri, kerbau, babi, unggas, dan anjing menjadi upeti yang dikirim ke Majapahit kala itu.

Berbagai jenis babi diperkirakan sudah ditemukan di hutan-hutan Asia Tenggara selama ribuan tahun dan diternakkan paling tidak sejak 3000 tahun S.M. Babi dianggap sebagai pengalih yang paling efisien dari padi-padian ke daging dan merupakan sumber daging utama di wilayah-wilayah di mana Islam belum masuk. Orang Eropa berpendapat bahwa babi Asia Tenggara lebih sehat daripada babi di Eropa. Orang Islam kemudian mendorong peternakan kambing sebagai pengganti babi, meskipun kambing sudah ada (sebelum Islam) hingga sejauh Sulawesi, tapi belum sampai ke Filipina. Hanya di Bali, yang kepadatan penduduknya telah mengakibatkan pembabatan hutan yang tiada taranya, hewan-hewan Asia Tenggara diternak untuk dijadikan penghasil daging sapi tropis yang istimewa; meskipun setidaknya pada abad ke-19 orang Hindu Bali sendiri tidak bersedia memakannya. Maka wajar, jika hingga saat ini sapi putih tropis masih dianggap suci di Bali; sehingga babi menjadi salah satu bahan makanan alternatif.

Lantas, apa yang kemudian menjadikan babi sebagai daging konsumsi utama di kalangan masyarakat Bali? Hal ini tampaknya tidak dapat dilepaskan dari peran orang-orang Hindu Jawa yang bermigrasi ke Bali pascaruntuhnya kekuasaan Majapahit. Pada abad ke-16, ketika masa kekuasaan Raja Batu Renggong, orang-orang Bali mentransformasikan pengaruh-pengaruh Majapahit untuk disesuaikan dengan kebutuhan hidup. Mereka menciptakan apa yang dalam kenyataannya sebagai budaya kontemporer Bali serta memberikan elemen-elemen khusus. Mereka juga membawa dan mempertahankan kebiasaan-kebiasaan mereka, termasuk didalamnya persoalan kebiasaan makan Di sisi lain, pengaruh agama dapat disimak dari pantangan untuk tidak memakan daging sapi putih sebagai suatu pantangan seperti halnya yang dianut oleh orang-orang Hindu-India. Tentu ini sebuah paradoks dengan orang-orang Islam yang berpantangan untuk tidak mengkonsumsi daging yang haram, babi. Bali adalah sebuah perkecualian yang memadukan nilai sejarah, budaya, dan keyakinan dalam unsur-unsur budaya makan mereka. Indikasi mengapa babi menjadi konsumsi utama masyarakat Bali dapat juga disimak dari dijadikannya hewan ternak ini sebagai komoditi utama, terutama sejak abad 19 hingga awal abad ke-20.

Pada kurun abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Babi adalah hewan ternak –selain lembu— yang menjadi kebutuhan utama rumah tangga keluarga Bali. Hampir setiap kepala keluarga memiliki paling sedikit satu sapi dan beberapa ekor babi yang diperuntukkan untuk kebutuhan pribadi atau nantinya akan dijual ke pasar lokal dan juga ekspor. Pada tahun 1910, total ekspor babi dari selatan Bali mencapai 33.400 ekor. Babi yang dijual tiap ekornya dihargai fl. 20 (fl=florin, satuan mata uang zaman Belanda). Sebagai hewan domestik, sudah menjadi pertimbangan bahwa babi merupakan komoditi ekonomi sekaligus sebagai bahan makanan yang dikonsumsi.

Namun, ada hal yang lebih penting dari sekedar hewan komoditas. Di Bali, babi juga adalah hewan yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan ritus. Seperti disinggung oleh ahli sejarah Asia Tenggara, Anthony Reid, umumnya riwayat daging dalam kegiatan ritus di kawasan Asia Tenggara sudah menjadi suatu hal yang penting, sebagaimana orang Bali memandang daging babi dalam kegiatan ritusnya. Dijadikannya babi sebagai kegiatan ritus di Bali, salah satunya dapat disimak Dalam rekaman kisah seorang Amerika bernama Collin McPhee dalam bukunya A House in Bali (1947), ia mengisahkan dirinya ketika memberikan hadiah dua ekor babi dalam acara Galungan. Babi, tutur McPhee, merupakan chiefly food bagi sebagian besar masyarakat Bali. Ketika orang Bali merasa berhutang budi dalam suatu hal, maka hadiah atau balas budi diwujudkan dengan menyembelih seekor babi miliknya. McPhee mengatakan juga bahwa babi yang telah disembelih kadang dijadikan sebagai sebuah wujud untuk menyenangkan sesepuh desa.

Prosesi penyajian hidangan meriah dengan menu daging babi disaksikan McPhee sebagai berikut:

…meanwhile, other helpers were engaged in preparing the classic accompaniments: rice, of course; pepahit –a “bitter” dish of stewed blimbing leaves to counteract the richness of the pig; sausage, made form the pig’s blood and urab, a hash of finely mixed coconut, green papaya, the chopped liver, and the heart. At last, the pig was pronounced done to a turn. It was pleased on a banana leaf in along wooden platter. The skin was brittle as thin glass and the meat, perfumed beyond words from the spice, melted on tongue.

Bukan hanya dalam kegiatan ritus, babi sudah sejak lama menjadi semacam mitos yang melekat di lingkungan orang Bali. Sewaktu McPhee mengunjungi Kuil Kematian, ia menyaksikan relief-relief arkais yang menunjukkan manusia dikelilingi oleh banyak babi. Ada pula kisah Raja Badulu yang dikisahkan memiliki semacam topeng mengerikan, kombinasi mata manusia dan mulut dengan moncong dan taring babi hutan. Dikisahkan bahwa Raja Badulu terlahir memiliki kekuatan magis. Ketika kecil, Raja Badulu seringkali menghibur dirinya sendiri dengan memotong kepalanya dan meminta para pelayannya untuk memasangkan kembali kepala yang terpisah dari raganya itu. Suatu ketika, kepala raja menggelinding ke sungai dan terbawa arus. Para pelayan tidak mampu mendapatkan kembali kepala tuannya. Dalam rasa putus asa, mereka akhirnya memenggal kepala seekor babi hutan dan memasangkannya di leher sang raja…

Simpulannya, menilai keidentikkan babi dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat Bali yang dihubungkaitkan dengan nilai-nilai budaya masa lalu tentu mengandung interpretasi yang masih cair. Namun, jika kembali kepada tiga faktor: iklim, sumber daya alam, dan kebiasaan masyarakat, kecairan penafsiran tersebut tampaknya dapat dipertimbangkan.

Pengaruh Cina
Menyoal pengaruh Cina terhadap kuliner Bali, saya pikir tidak sebegitu jelas jika dibandingkan dengan makanan di Jawa, Jakarta, atau Pontianak yang coraknya masih dapat dirasakan. Hanya yang mengundang rasa penasaran, jika berpijak dari anggapan bahwa daging babi juga begitu identik dengan kuliner Cina, apakah ada pengaruh Cina dalam penggunaan daging babi di Bali? Di sini, saya tidak terlalu dapat berspekulasi, karena tidak ada satu pun referensi yang menyinggung pengaruh tersebut. Denys Lombard bahkan menyebut bahwa kebudayaan Cina di Pulau Bali jarang sekali disebut. Hal menarik yang disinggung Lombard adalah pengaruh Cina dalam aspek botani, yaitu tamanan buah leci (lizhi). Ya, buah yang dianggap sebagai tanaman asal “Kunlun” (sebutan dalam sumber-sumber kuno Cina bagi kawasan Maritim Asia Tenggara) itu ternyata sejak zaman Dinasti Han (202 S.M – 220 M) dijadikan sebagai upeti untuk dikirim ke istana; serta salah satu komoditi yang diekspor ke utara dan ke selatan. Buah leci yang jarang dan ternyata terdapat di Tabanan, Bali (selain di Cianjur, Jawa Barat), setidaknya menandakan kehadiran pengaruh Cina di pulau tersebut. Pun, tidak ketinggalan

Memang, secara geografis Bali terletak membentang sejauh satu mil dari kawasan timur Jawa di lintas perdagangan langsung antara kepulauan rempah-rempah di Maluku dan pelabuhan-pelabuhan Asia yang juga mendistribusikan rempah-rempah seperti cengkih, pala, dan pala kering. Kondisi geografis inilah yang membuat Bali pada masa emporium telah disinggahi oleh para pedagang dan musafir India, Arab, Cina, Jepang, Bugis, dan pedagang-pedagang timur lainnya yang bukan hanya membawa barang-barang niaga, namun juga tata cara dan kebiasaannya. Sekalipun Pulau Bali disinggahi dan dimukimi, orang-orang Bali lebih memilih untuk mempertahankan kultur mereka, dengan sedikit kemungkinan menerima pengaruh-pengaruh asing dalam kehidupan mereka.

Dengan berlandaskan pada kenyataan tersebut, di sini Willard A. Hanna menyinggung mengenai keberadaan orang-orang Cina di Bali terutama pada abad ke-19. Hanna tidak menyinggung kebudayaan material Cina yang berarti, selain kopeng (koin Cina berlubang) dan buah pinang yang disuka orang Bali tua dan muda. Lombard, Hanna, atau Kong Yuanzhi yang mengupas warisan kuliner Cina ini pun bahkan tidak menyinggung sama sekali wilayah Bali berkaitan dengan silang budaya Cina di di Nusantara. Mungkin Lombard benar, jarang disebutnya kebudayaan Cina menandakan agak kaburnya budaya Cina di pulau dewata tersebut.

Referensi

Hanna, Willard. 1991. Bali Profile: Peoples, Events, Circumstances (1001-1976). Banda Neira: Rumah Budaya Banda Neira.

Kong Yuanzhi. 2005. Silang Budaya Tiongkok Indonesia. Jakarta: BIP.

Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa Silang Budaya (Jilid II: Jaringan Asia). Jakarta: Gramedia.

McPhee, Collin. 1947. A House in Bali. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Owen, Sri. 1999. Indonesian Regional Food and Cookery. London: Frances Lincoln.

Reid, Anthony. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga (Jilid I: Tanah di Bawah Angin). Jakarta: Obor.

Stibbe, D.G. 1921. Enclopædie van Nederlandsch-Indië (jilid 4, subjek: voedingsmiddelen). ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Vuyk, Beb। 1987. Groot Indonesisch Kookboek. Utrecht: Uitgeverij Kosmos.

Sumber : http://blogs.unpad.ac.id/fadly27/?p=3

Pesepakbola Fabregas Akan Coba Cicipi Makanan Khas Bali

Pulau Bali memukau pemain sepak bola internasional asal Spanyol Cesc Fabregas. Selain terpesona keindahan alam dan budaya, ia pun mencoba mencicipi makanan khas Bali.

“Setelah ada juara (Biskuat Tiger Cup 2011), kita akan nikmati sama-sama makanan (makanan khas Bali),” kata Fabregas pada jumpa pers di Gelora Ngurah Rai, Jl Melati, Denpasar, Bali, Kamis (23/6/2011).

Setelah mendarat di Bandara Ngurah Rai, Fabregas bertemu dengan ratusan anak-anak pemain bola di GOR Ngurah Rai. Ia datang ke Bali untuk memberikan dukungan kepada tim sepak bola anak-anak yang bertarung di final Biskuat Tiger Cup 2011.

Saat memasuki stadion yang penuk sesak dengan anak-anak, enam penari cantik melenggokkan tubuhnya dengan gemulai menyambut kedatangan Fabregas. Pemain nasional Bambang Pamungkas juga ikut menyambut kedatangan kapten tim Premier League Arsenal ini.

Usai menyaksikan laga final yang dimenangkan oleh SDN 064011 Medan, Fabregas akan menikmati gala dinner di Hotel Intercontinental, Jimbaran pada malam hari.

Fabregas lantas mendapatkan sodoran berbagai menu khas Bali dari para wartawan, seperti sate lilit, ikan bakar jimbaran hingga nasi pedas. “Saya akan mencoba semua. Jangan khawatir,” kelakar Fabregas tersenyum.

Oleh : Komang Ardita Candra
Sumber : www.travelerbali.com

Jumat, 17 Juni 2011

Nasi Panggang Rempah Ala Bali

Liputan6.com, Bali: Makanan pokok berupa nasi selain bisa diolah menjadi nasi goreng hingga nasi bakar, bisa juga dipanggang. Seperti halnya nasi panggang bumbu rempah khas Bali yang menjadi menu andalan sebuah restoran di kawasan wisata Ubud, Bali.

Manajer restoran Putu Setiawan menuturkan, resep membuat nasi panggang khas restorannya cukup unik. Pertama, sediakan nasi putih sebagai bahan utama, ditambah udang, daging ayam, daging ikan cincang, sayuran, serta berbagai racikan bumbu rempah. Setelah dicincang dan dihaluskan, daging beserta bumbu pun digoreng bersama nasi.

Setelah itu, Putu menambahkan, nasi olahan yang dibungkus dengan daun itu selanjutnya dipanggang di atas bara api. Selain melezatkan, nasi yang dipanggang itu bertujuan mengurangi kandungan minyak goreng di dalamnya. Bagi Anda penggemar kuliner tradisonal, nasi panggang bisa juga disajikan dengan aneka lauk lainnya.

Soal harga, cukup terjangkau। Anda hanya perlu merogoh kocek Rp 60 ribu untuk satu porsi nasi panggang komplit di restoran ini, plus hiburan alunan musik reggae.

Sumber : Liputan6.

Bali Surf Wear Kuta Lines Bali


BLI COSBY Raja Rujak & Tipat Cantok

Dagang Rujak banyak... Dagang Tipat Cantok juga banyak... Dagang Bulung nggak terhitung... Es Campur ?? Apalagi..
TAPI ...!!
Rujak, Tipat Cantok, Bulung, Es Campur BLI COSBY
Lain dari yang lain ... Selain Uenak ... Murah lagi ...
lokasinya Jl Sudirman, depan RESMAN Denpasar

Pada daftar menu terdapat kata-kata dalam 4 bahasa, isi kata-katanya seperti ini... "Yen jaan orain timpale ..... Yen jelek orain dagange ..."
"Kalo enak bilangin teman2 ... Kalo jelek bilangin dagangnya.."
"If you think it's taste is delicious please telling your friends. but if it's not please telling the seller".
"Wenn es schmeckt gut, sagen Sie bitte Ihren Freunden. wenn es schmeckt nicht gut, sagen Sie bitte den Verkäufer"