Wisata Kuliner di Bali Bareng Pak De Manbull

Info Wisata Kuliner, Tempat Belanja, Tips-Tips Menarik di Pulau Dewata Bali, rekomendasi bagi wisatawan domestik.

Maaak Nyeeessss

Info Wisata Kuliner, Tempat Belanja, Tips-Tips Menarik di Pulau Dewata Bali, rekomendasi bagi wisatawan domestik.

Jelajahi Masakan Bali Tempo Dulu...

Jelajahi aneka masakan tradisonal tempo dulu, yang kini sudah mulai jarang dijual di warung makan di Bali.

Liburan di Bali sambil berwisata kuliner

Menikmati alam dan budaya Bali sambil menikmati wisata kuliner

Dapatkan Tips menarik disini...

Tips dan artikel menarik yang selalu update...

Kamis, 23 Juni 2011

Menelusuri Kebiasaan Makan Daging Babi di Kalangan Masyarakat Bali

Berawal dari pandangan umum bahwa makanan di setiap wilayah tidak dapat dilepaskan dari tiga faktor penting, yaitu iklim, sumber daya alam, dan kebiasaan masyarakat. Di Indonesia, peta kuliner sangat beragam dan menarik. Selain tiga faktor di atas, saya yakin ada hal yang melatarbelakangi perkembangan budaya makan yang terkait dengan aspek-aspek historis, di samping kultur masyarakat. Selalu muncul pertanyaan yang menggelitik, mengapa suatu jenis makanan atau suatu raw material begitu identik dengan suatu kawasan tertentu.

Bali menjadi salah satu dari sekian kasus kuliner yang saya pandang unik dan menarik, karena –mungkin— selain dilandasi nilai-nilai sejarah dan budaya, khasanah kuliner Bali juga mengandung nilai religius. Sebagian besar orang luar Bali yang beragama Islam, selalu takut untuk mencoba mencicipi masakan Bali yang identik dengan babi. Masakan seperti lawar yang mengkombinasikan gudeg-urap khas Bali yang diberi darah babi mungkin tampaknya telah memberikan prediksi yang kuat pada masyarakat luar Bali yang ingin berkunjung ke tempat wisata ini untuk tidak mencicipi hidangan pulau dewata ini. Memang, saya memandang, untuk konsumsi orang Bali, daging babi masih digunakan. Terlebih lagi bagi umat Hindu, sapi (putih) termasuk hewan suci yang masih sakral dan tidak boleh disembelih. Hal inilah yang tampaknya membuat babi sebagai konsumsi daging utama (chiefly food) bagi sebagian besar masyarakat Bali.

Orang Bali
Awal sejarah Bali tidak dapat dilepaskan dari asal-usul dan evolusi masyarakatnya. Orang Bali diduga memiliki darah campuran Mongoloid yang bergerak ke pulau utama menuju kawasan Asia Tenggara, jauh sebelum masa sejarah. Pengaruh asing terbesar bagi orang Bali awalnya dibawa oleh orang-orang India (pedagang dan pelancong) yang membawa serta pengaruh ajaran Hindu. Bali kemudian berbagi sangat banyak dalam gelombang Indianisasi yang menyebar di hampir banyak kawasan Asia Tenggara di paruh akhir milenium pertama.

Hinduisasi di Bali merupakan sebuah proses yang berlangsung berabad-abad. Pengaruh yang paling meresap ternyata bukan dari India saja, namun ternyata lebih dekat ke Jawa, yang sebenarnya lebih dahulu terkena proses Indianisasi dibandingkan Bali. Pada tahun 1001 (atau mungkin 991), Bali telah sepenuhnya terkena proses Hinduisasi. Pada masa kekuasaan Airlangga, Singasari amat memengaruhi Bali, baik secara politik maupun budaya. Namun hubungan itu bukan tanpa konflik. Orang-orang Bali beberapa kali menuntut otonomi mereka dari kerajaan Singasari. Bahkan, ketika kekuasaan beralih ke tangan Majapahit, tuntutan itu masih terjadi. Akhirnya, tuntutan itu terwujud ketika kekuasaan Majapahit berakhir pada tahun 1515. Bali kemudian memiliki otonomi untuk mengatur urusan dalam negerinya.

Pada periode Majapahit, sejarah Bali mulai jelas memuat dan memiliki pola, meski banyak menyisakan legenda-legenda. Jatuhnya Majapahit menandai bangkitnya Mataram yang merupakan kerajaan bercorak Islam. Banyak dari ribuan pendeta, bangsawan, tentara, seniman, pengukir, yang berpindah dari Jawa ke Bali untuk menghindarkan diri mereka dari para penakluk muslim. Di Bali, mereka memberikan impuls yang kuat bagi pertumbuhan tradisi Hindu Jawa yang terdesak oleh kekuatan Islam. Fenomena migrasi ini kemudian menghasilkan terjadinya transfusi budaya yang besar di wilayah Bali. Selama kurang lebih 400 tahun, tanpa diganggu mereka hidup menetap di Bali dan memiliki keturunan.

Lantas, apa hubungan masa Hindu Jawa yang diwakili oleh kekuasaan Majapahit tersebut bagi budaya orang Bali, terutama berkaitan dengan kebiasaan makan mereka yang menjadikan babi sebagai konsumsi daging utama. Di sini saya tidak begitu sepakat dengan daging pilihan (meat of choice), karena saya lebih memandang daging babi lebih dari sekedar pilihan, namun menjadi suatu yang utama di kalangan masyarakat Bali.

Asal-Usul
Dalam kitab Nagarakrtagama (1365), babi disinggung sebagai salah satu jenis daging yang dihidangkan di Istana Majapahit, selain daging domba, kerbau, ayam, lebah, ikan, dan bebek. Selain itu, juga ada beberapa jenis daging lagi yang tidak dihidangkan kepada orang yang taat karena pantangan Hindu, meskipun banyak digemari oleh rakyat biasa, seperti kodok, cacing, penyu, tikus, anjing. Banyak sekali pada masa itu orang-orang yang menggemari daging-daging ini. Agama Hindu tampaknya nyaris tidak berperan dalam mengekang sumber-sumber protein. Seorang Cina Muslim, Ma Huan, tercengang ketika melihat makanan orang Jawa bukan Islam yang dikatakannya sangat kotor dan buruk. Binatang-binatang seperti ular, semut, dan semua jenis serangga serta cacing menjadi bahan-bahan konsumsi. Selain Madura, Bali adalah wilayah pengekspor ternak ke Jawa pada abad ke-14 sebagaimana juga masih bertahan selama berabad-abad. Ternak-ternak seperti domba, biri-biri, kerbau, babi, unggas, dan anjing menjadi upeti yang dikirim ke Majapahit kala itu.

Berbagai jenis babi diperkirakan sudah ditemukan di hutan-hutan Asia Tenggara selama ribuan tahun dan diternakkan paling tidak sejak 3000 tahun S.M. Babi dianggap sebagai pengalih yang paling efisien dari padi-padian ke daging dan merupakan sumber daging utama di wilayah-wilayah di mana Islam belum masuk. Orang Eropa berpendapat bahwa babi Asia Tenggara lebih sehat daripada babi di Eropa. Orang Islam kemudian mendorong peternakan kambing sebagai pengganti babi, meskipun kambing sudah ada (sebelum Islam) hingga sejauh Sulawesi, tapi belum sampai ke Filipina. Hanya di Bali, yang kepadatan penduduknya telah mengakibatkan pembabatan hutan yang tiada taranya, hewan-hewan Asia Tenggara diternak untuk dijadikan penghasil daging sapi tropis yang istimewa; meskipun setidaknya pada abad ke-19 orang Hindu Bali sendiri tidak bersedia memakannya. Maka wajar, jika hingga saat ini sapi putih tropis masih dianggap suci di Bali; sehingga babi menjadi salah satu bahan makanan alternatif.

Lantas, apa yang kemudian menjadikan babi sebagai daging konsumsi utama di kalangan masyarakat Bali? Hal ini tampaknya tidak dapat dilepaskan dari peran orang-orang Hindu Jawa yang bermigrasi ke Bali pascaruntuhnya kekuasaan Majapahit. Pada abad ke-16, ketika masa kekuasaan Raja Batu Renggong, orang-orang Bali mentransformasikan pengaruh-pengaruh Majapahit untuk disesuaikan dengan kebutuhan hidup. Mereka menciptakan apa yang dalam kenyataannya sebagai budaya kontemporer Bali serta memberikan elemen-elemen khusus. Mereka juga membawa dan mempertahankan kebiasaan-kebiasaan mereka, termasuk didalamnya persoalan kebiasaan makan Di sisi lain, pengaruh agama dapat disimak dari pantangan untuk tidak memakan daging sapi putih sebagai suatu pantangan seperti halnya yang dianut oleh orang-orang Hindu-India. Tentu ini sebuah paradoks dengan orang-orang Islam yang berpantangan untuk tidak mengkonsumsi daging yang haram, babi. Bali adalah sebuah perkecualian yang memadukan nilai sejarah, budaya, dan keyakinan dalam unsur-unsur budaya makan mereka. Indikasi mengapa babi menjadi konsumsi utama masyarakat Bali dapat juga disimak dari dijadikannya hewan ternak ini sebagai komoditi utama, terutama sejak abad 19 hingga awal abad ke-20.

Pada kurun abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Babi adalah hewan ternak –selain lembu— yang menjadi kebutuhan utama rumah tangga keluarga Bali. Hampir setiap kepala keluarga memiliki paling sedikit satu sapi dan beberapa ekor babi yang diperuntukkan untuk kebutuhan pribadi atau nantinya akan dijual ke pasar lokal dan juga ekspor. Pada tahun 1910, total ekspor babi dari selatan Bali mencapai 33.400 ekor. Babi yang dijual tiap ekornya dihargai fl. 20 (fl=florin, satuan mata uang zaman Belanda). Sebagai hewan domestik, sudah menjadi pertimbangan bahwa babi merupakan komoditi ekonomi sekaligus sebagai bahan makanan yang dikonsumsi.

Namun, ada hal yang lebih penting dari sekedar hewan komoditas. Di Bali, babi juga adalah hewan yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan ritus. Seperti disinggung oleh ahli sejarah Asia Tenggara, Anthony Reid, umumnya riwayat daging dalam kegiatan ritus di kawasan Asia Tenggara sudah menjadi suatu hal yang penting, sebagaimana orang Bali memandang daging babi dalam kegiatan ritusnya. Dijadikannya babi sebagai kegiatan ritus di Bali, salah satunya dapat disimak Dalam rekaman kisah seorang Amerika bernama Collin McPhee dalam bukunya A House in Bali (1947), ia mengisahkan dirinya ketika memberikan hadiah dua ekor babi dalam acara Galungan. Babi, tutur McPhee, merupakan chiefly food bagi sebagian besar masyarakat Bali. Ketika orang Bali merasa berhutang budi dalam suatu hal, maka hadiah atau balas budi diwujudkan dengan menyembelih seekor babi miliknya. McPhee mengatakan juga bahwa babi yang telah disembelih kadang dijadikan sebagai sebuah wujud untuk menyenangkan sesepuh desa.

Prosesi penyajian hidangan meriah dengan menu daging babi disaksikan McPhee sebagai berikut:

…meanwhile, other helpers were engaged in preparing the classic accompaniments: rice, of course; pepahit –a “bitter” dish of stewed blimbing leaves to counteract the richness of the pig; sausage, made form the pig’s blood and urab, a hash of finely mixed coconut, green papaya, the chopped liver, and the heart. At last, the pig was pronounced done to a turn. It was pleased on a banana leaf in along wooden platter. The skin was brittle as thin glass and the meat, perfumed beyond words from the spice, melted on tongue.

Bukan hanya dalam kegiatan ritus, babi sudah sejak lama menjadi semacam mitos yang melekat di lingkungan orang Bali. Sewaktu McPhee mengunjungi Kuil Kematian, ia menyaksikan relief-relief arkais yang menunjukkan manusia dikelilingi oleh banyak babi. Ada pula kisah Raja Badulu yang dikisahkan memiliki semacam topeng mengerikan, kombinasi mata manusia dan mulut dengan moncong dan taring babi hutan. Dikisahkan bahwa Raja Badulu terlahir memiliki kekuatan magis. Ketika kecil, Raja Badulu seringkali menghibur dirinya sendiri dengan memotong kepalanya dan meminta para pelayannya untuk memasangkan kembali kepala yang terpisah dari raganya itu. Suatu ketika, kepala raja menggelinding ke sungai dan terbawa arus. Para pelayan tidak mampu mendapatkan kembali kepala tuannya. Dalam rasa putus asa, mereka akhirnya memenggal kepala seekor babi hutan dan memasangkannya di leher sang raja…

Simpulannya, menilai keidentikkan babi dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat Bali yang dihubungkaitkan dengan nilai-nilai budaya masa lalu tentu mengandung interpretasi yang masih cair. Namun, jika kembali kepada tiga faktor: iklim, sumber daya alam, dan kebiasaan masyarakat, kecairan penafsiran tersebut tampaknya dapat dipertimbangkan.

Pengaruh Cina
Menyoal pengaruh Cina terhadap kuliner Bali, saya pikir tidak sebegitu jelas jika dibandingkan dengan makanan di Jawa, Jakarta, atau Pontianak yang coraknya masih dapat dirasakan. Hanya yang mengundang rasa penasaran, jika berpijak dari anggapan bahwa daging babi juga begitu identik dengan kuliner Cina, apakah ada pengaruh Cina dalam penggunaan daging babi di Bali? Di sini, saya tidak terlalu dapat berspekulasi, karena tidak ada satu pun referensi yang menyinggung pengaruh tersebut. Denys Lombard bahkan menyebut bahwa kebudayaan Cina di Pulau Bali jarang sekali disebut. Hal menarik yang disinggung Lombard adalah pengaruh Cina dalam aspek botani, yaitu tamanan buah leci (lizhi). Ya, buah yang dianggap sebagai tanaman asal “Kunlun” (sebutan dalam sumber-sumber kuno Cina bagi kawasan Maritim Asia Tenggara) itu ternyata sejak zaman Dinasti Han (202 S.M – 220 M) dijadikan sebagai upeti untuk dikirim ke istana; serta salah satu komoditi yang diekspor ke utara dan ke selatan. Buah leci yang jarang dan ternyata terdapat di Tabanan, Bali (selain di Cianjur, Jawa Barat), setidaknya menandakan kehadiran pengaruh Cina di pulau tersebut. Pun, tidak ketinggalan

Memang, secara geografis Bali terletak membentang sejauh satu mil dari kawasan timur Jawa di lintas perdagangan langsung antara kepulauan rempah-rempah di Maluku dan pelabuhan-pelabuhan Asia yang juga mendistribusikan rempah-rempah seperti cengkih, pala, dan pala kering. Kondisi geografis inilah yang membuat Bali pada masa emporium telah disinggahi oleh para pedagang dan musafir India, Arab, Cina, Jepang, Bugis, dan pedagang-pedagang timur lainnya yang bukan hanya membawa barang-barang niaga, namun juga tata cara dan kebiasaannya. Sekalipun Pulau Bali disinggahi dan dimukimi, orang-orang Bali lebih memilih untuk mempertahankan kultur mereka, dengan sedikit kemungkinan menerima pengaruh-pengaruh asing dalam kehidupan mereka.

Dengan berlandaskan pada kenyataan tersebut, di sini Willard A. Hanna menyinggung mengenai keberadaan orang-orang Cina di Bali terutama pada abad ke-19. Hanna tidak menyinggung kebudayaan material Cina yang berarti, selain kopeng (koin Cina berlubang) dan buah pinang yang disuka orang Bali tua dan muda. Lombard, Hanna, atau Kong Yuanzhi yang mengupas warisan kuliner Cina ini pun bahkan tidak menyinggung sama sekali wilayah Bali berkaitan dengan silang budaya Cina di di Nusantara. Mungkin Lombard benar, jarang disebutnya kebudayaan Cina menandakan agak kaburnya budaya Cina di pulau dewata tersebut.

Referensi

Hanna, Willard. 1991. Bali Profile: Peoples, Events, Circumstances (1001-1976). Banda Neira: Rumah Budaya Banda Neira.

Kong Yuanzhi. 2005. Silang Budaya Tiongkok Indonesia. Jakarta: BIP.

Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa Silang Budaya (Jilid II: Jaringan Asia). Jakarta: Gramedia.

McPhee, Collin. 1947. A House in Bali. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Owen, Sri. 1999. Indonesian Regional Food and Cookery. London: Frances Lincoln.

Reid, Anthony. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga (Jilid I: Tanah di Bawah Angin). Jakarta: Obor.

Stibbe, D.G. 1921. Enclopædie van Nederlandsch-Indië (jilid 4, subjek: voedingsmiddelen). ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Vuyk, Beb। 1987. Groot Indonesisch Kookboek. Utrecht: Uitgeverij Kosmos.

Sumber : http://blogs.unpad.ac.id/fadly27/?p=3

Pesepakbola Fabregas Akan Coba Cicipi Makanan Khas Bali

Pulau Bali memukau pemain sepak bola internasional asal Spanyol Cesc Fabregas. Selain terpesona keindahan alam dan budaya, ia pun mencoba mencicipi makanan khas Bali.

“Setelah ada juara (Biskuat Tiger Cup 2011), kita akan nikmati sama-sama makanan (makanan khas Bali),” kata Fabregas pada jumpa pers di Gelora Ngurah Rai, Jl Melati, Denpasar, Bali, Kamis (23/6/2011).

Setelah mendarat di Bandara Ngurah Rai, Fabregas bertemu dengan ratusan anak-anak pemain bola di GOR Ngurah Rai. Ia datang ke Bali untuk memberikan dukungan kepada tim sepak bola anak-anak yang bertarung di final Biskuat Tiger Cup 2011.

Saat memasuki stadion yang penuk sesak dengan anak-anak, enam penari cantik melenggokkan tubuhnya dengan gemulai menyambut kedatangan Fabregas. Pemain nasional Bambang Pamungkas juga ikut menyambut kedatangan kapten tim Premier League Arsenal ini.

Usai menyaksikan laga final yang dimenangkan oleh SDN 064011 Medan, Fabregas akan menikmati gala dinner di Hotel Intercontinental, Jimbaran pada malam hari.

Fabregas lantas mendapatkan sodoran berbagai menu khas Bali dari para wartawan, seperti sate lilit, ikan bakar jimbaran hingga nasi pedas. “Saya akan mencoba semua. Jangan khawatir,” kelakar Fabregas tersenyum.

Oleh : Komang Ardita Candra
Sumber : www.travelerbali.com

Jumat, 17 Juni 2011

Nasi Panggang Rempah Ala Bali

Liputan6.com, Bali: Makanan pokok berupa nasi selain bisa diolah menjadi nasi goreng hingga nasi bakar, bisa juga dipanggang. Seperti halnya nasi panggang bumbu rempah khas Bali yang menjadi menu andalan sebuah restoran di kawasan wisata Ubud, Bali.

Manajer restoran Putu Setiawan menuturkan, resep membuat nasi panggang khas restorannya cukup unik. Pertama, sediakan nasi putih sebagai bahan utama, ditambah udang, daging ayam, daging ikan cincang, sayuran, serta berbagai racikan bumbu rempah. Setelah dicincang dan dihaluskan, daging beserta bumbu pun digoreng bersama nasi.

Setelah itu, Putu menambahkan, nasi olahan yang dibungkus dengan daun itu selanjutnya dipanggang di atas bara api. Selain melezatkan, nasi yang dipanggang itu bertujuan mengurangi kandungan minyak goreng di dalamnya. Bagi Anda penggemar kuliner tradisonal, nasi panggang bisa juga disajikan dengan aneka lauk lainnya.

Soal harga, cukup terjangkau। Anda hanya perlu merogoh kocek Rp 60 ribu untuk satu porsi nasi panggang komplit di restoran ini, plus hiburan alunan musik reggae.

Sumber : Liputan6.

Bali Surf Wear Kuta Lines Bali


BLI COSBY Raja Rujak & Tipat Cantok

Dagang Rujak banyak... Dagang Tipat Cantok juga banyak... Dagang Bulung nggak terhitung... Es Campur ?? Apalagi..
TAPI ...!!
Rujak, Tipat Cantok, Bulung, Es Campur BLI COSBY
Lain dari yang lain ... Selain Uenak ... Murah lagi ...
lokasinya Jl Sudirman, depan RESMAN Denpasar

Pada daftar menu terdapat kata-kata dalam 4 bahasa, isi kata-katanya seperti ini... "Yen jaan orain timpale ..... Yen jelek orain dagange ..."
"Kalo enak bilangin teman2 ... Kalo jelek bilangin dagangnya.."
"If you think it's taste is delicious please telling your friends. but if it's not please telling the seller".
"Wenn es schmeckt gut, sagen Sie bitte Ihren Freunden. wenn es schmeckt nicht gut, sagen Sie bitte den Verkäufer"



Jumat, 10 Juni 2011

Warung Subak, Masakan Seafood ala Jimbaran

Sudah Pernah Ke Warung Subak? Anda harus mencobanya, Warung yang terletak di Jalan Astasura No. 5 Peguyangan Denpasar Utara ini akan membawa anda ke suasana yang berbeda, yaitu suasanya tepi sawah dengan menikmati Masakan Seafood ala Jimbaran.

Lokasinya berada ditengah pedesaan yang dikelilingi oleh Sawah, sehinnga acara makan anda akan sangat eksklusif ditemani oleh pemandangan yang eksotik
khas Warung Subak.

Menu Masakannya pun Unik, Paket yang ditawarkan mulai dari istilah Paket A sampai Paket X, untuk Paket A anda akan menikmati 1 Porsi Udang Bakar, 1 Porsi Nasi Putih, 1 Porsi Plecing Kangkung, harganya Rp. 47,500.

Warung ini menyediakan Gazebo-gazebo, dikelilingi kolam, ada juga meja meeting, parkir yang luas dan masih banyak lagi kejutan yang akan anda peroleh.




Jadi bila anda ingin mencoba silahkan saja mampir Ke Warung Subak. dijamin Mak Nyusss

Warung Subak
Jl. Astasura No.05 Kelurahan Peguyangan
Denpasar Utara 80115 Bali - Indonesia
Telp. +62 - 0361 – 7436702
Email. warungsubak@yahoo.co.id

Kamis, 09 Juni 2011

Mampir Nyoto Di Warung Soto Sapi Ketut

Jika anda sedang berada di Seputaran Denpasar atau sedang berbelanja di Pertokoan Udayana dekat Tiara Dewata atau sekedar lewat? Nahh.. Ada kuliner nikmat di seputaran itu. Tepatnya di Jalan Letda Putra persis di belakang Parkiran Tiara Dewata menuju tembusan Lapangan Puputan.

Warung ini menyajikan Soto dan Bakso Sapi. Selain itu ada juga menu tambahan lainnya seperti Nasi Goreng Ayam, Mie Goreng Ayam, Bihun Goreng Ayam, dll. Sotonya yang bening dengan rasa kuahnya yang beresap dengan daging sapinya, membuat lidah ini berdendang untuk mengucapkan kata Maknyuusss. Daging sapinya yang empuk ditambah bulatan baksonya dan tidak ketinggalan irisan lobak dan jeruk nipis yang membuat soto sapinya meriah dan istimewa.



Soto Sapi Ibu Ketut ini ada di dua tempat, Satu lagi berlokasi di Jalan Nangka Selatan. Warung ini buka dari jam 09.00 pagi sampai jam 10.00 malam. Harga perporsinya Rp. 9000 untuk Nasi + Soto dan Rp. 11.000 untuk Nasi + Soto Bakso.

Selamat Menikmati Bro!

Rabu, 08 Juni 2011

Steak Ribs Babi ala Naughty Nuri's

Siapa yang tidak kenal Ubud, desa wisata Bali tempat berkumpulnya para seniman - seniman yang tinggal maupun yang mencari inspirasi untuk berkarya. Tidak heran bila seniman - seniman dari seluruh dunia datang dan tinggal berlama-lama di Ubud, udara yang sejuk, nyaman dan aura keheningan yang membuat hati ini terpikat.

Selain hamparan sawah, galeri-galeri lukisan yang memanjakan mata untuk dinikmati, Ubud juga memiliki tempat-tempat kuliner yang wajib untuk dikunjungi, salah satunya adalah Naughty Nuri’s Warung.



apapun makannya minumnya teh botol sosro

Warung pinggir jalan yang menyajikan menu yang beragam diantaranya Steak Ribs Babi ala Nuri's, Spare Ribs. Spare Ribs bisa dijadikan salah satu menu andalan untuk disantap bersama keluarga. Spare Ribs adalah iga babi yang dipanggang dan rasanya tidak perlu diragukan lagi.. Maknyuus oleh banyak pengunjung. Sedangkan Steak Ribs Babi, barbeque khas ala Nuri's yang bumbunya bikin lumer di mulut dan menyatu dengan dagingnya. Semua disaji dengan kecap manis dan sambal yang pedas

Warung ini tidak begitu besar tapi pengunjung yang datang tiap harinya selalu ramai, tempat ini tidak terlalu sulit untuk ditemukan, karena hanya di seberang jalan dari Musuem Seni Neka.

Naughty Nuri’s Warung
Jl. Raya Sanggingan
Ubud, Bali
Telp: 0361-977547
website : www.naughty-nuris.com

Minggu, 05 Juni 2011

Hmm...Lezatnya Nasi Goreng Beras Merah Jatiluwih

Wisata ke hamparan persawahan Jatiluwih, Tabanan, Bali tak lengkap jika tak menikmati hidangan kulinernya. Nasi goreng beras merah, hidangan yang tak bisa dijumpai di daerah lain di Bali.

Nasi goreng beras merah Jatiluwih sangat istimewa karena kita menyantapnya di warung bambu sederhana di tengah hamparan sawah. Nasi goreng beras merah ini bisa dijumpai di warung Krishna yang berada di tepi jalan Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan, Bali.

Nasi goreng beras merah rasanya pulen. Menu ini terbuat dari beras merah organik yang dipanen langsung dari sawah Jatiluwih dengan pengolahan yang masih tradisional.

Bulir-bulir nasinya besar dan berisi. Harum semerbak meruap dari menu yang disajikan di atas ingka (piring dari batang daun kelapa kering yang dijalin seperti piring). Semangkok nasi goreng disusun rapi di atas daun pisang yang masih segar, dihiasi irisan mentimun dan tomat segar.

Tampilannya memang sangat sederhana. Nasi goreng beras merah tak seperti nasi goreng umumnya yang dipadu dengan beranek lauk dan sayur. Nasi goreng berah merah Jatiluwih ini hanya dicampur dengan sayur hijau dengg ban tambahan telur dadar. "Meskipun sederhana tapi rasanya enak banget," kata Andi teman saya dari Jakarta yang juga kepincut dengan pesona Jatiluwih.

Usai menyantap nasi Goreng beras merah (Rp 15 ribu), waktunya memesan segelas teh beras merah untuk membasuh lidah.

Teh beras merah (Rp 3 ribu) ini memiliki manfaat yang berguna bagi tubuh, seperti melancarkan peredaran darah, melancarkan pencernaan, memulihkan stamina, dan sebagai anti oksidan.

Hangatnya teh beras merah yang dibuat dengan cara merebus dua sendok beras kembali menghangatkan tubuh yang kedinginan seiring salju menyapa hamparan sawah Jatiluwih.

Warung Krishna
Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel
Kabupaten Tabanan


Sumber : http://www.travelerbali.com/?act=detail&id=402